Variasi Penggunaan Volume Bahasa pada Mayarakat Pegunungan dan Masyarakat Pesisir



Variasi Penggunaan Volume Bahasa pada Mayarakat
Pegunungan dan Masyarakat Pesisir


Anna Mega Puspita
16410090
3B/PBSI/FPBS/UPGRIS
annamega916@gmail.com

BAB I
Pendahuluan

  1. Latar Belakang
                        Bahasa merupakan bunyi yang keluar dari alat ucap manusia yang memiliki makna dan bersifat arbiter (manasuka). Bahasa dapat juga dikatakan kemampuan yang dimiliki manusia untuk berkomunikasi dengan manusia lainnya menggunakan tanda, misalnya kata dan gerakan

Bahasa-bahasa berubah dan bervariasi sepanjang waktu, dan sejarah evolusinya dapat direkonstruksi ulang dengan membandingkan bahasa modern untuk menentukan sifat-sifat mana yang harus dimiliki oleh bahasa leluhurnya supaya perubahan nantinya dapat terjadi. Sekelompok bahasa yang diturunkan dari leluhur yang sama dikenal sebagai rumpun bahasa. Bahasa mengekspresikan makna dengan mengaitkan sebuah isyarat dengan maknanya, atau isinya. Bentuk isyarat haruslah sesuatu yang dapat dipersepsi, contohnya, dalam suara, gambar, atau gerak isyarat, dan kemudian berhubungan dengan makna tertentu oleh konvensi sosial.
            Sebagai sebuah langue sebuah bahasa mempunyai sistem dan subsistem yang dipahami sama oleh semua penutur bahasa itu. Terjadinya keragaman atau kevariasian bahasa ini bukan hanya disebabkan oleh para penuturnya yang tidak homogen, tetapi juga karena karena kegiatan interaksi sosial yang mereka lakukan sangat beragam. Setiap kegiatan memerlukan atau menyebabkan terjadinya keragaman bahasa itu. Keragaman ini akan semakin bertambah kalau bahasa tersebut digunakan oleh penutur yang sangat banyak, serta dalam wilayah yang sangat luas.
                        Dalam variasi atau ragam bahasa ini ada dua pandangan. Pertama, variasi atau ragam bahasa bahasa itu dilihat sebagai akibat adanya keragaman sosial penutur bahasa itu dan keragaman fungsi bahasa itu. Variasi atau ragam bahasa terjadi sebagai akibat adanya keragaman sosial dan keragaman fungsi bahasa. Kedua, variasi atau ragam bahasa itu sudah ada untuk memenuhi fungsinya sebagai alat interaksi dalam kegiatan masyarakat yang beraneka ragam.
                        Hartman dan Stork (1972) membedakan variasi berdasarkan kriteria (a) latar belakang geografi dan sosial penutur, (b) medium yang digunakan, dan (c) pokok pembicaraan.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  

B.     Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, dapat disimpulkan perumusan masalah sebagai berikut:

1.      Bagaimana volume bahasa yang digunakan pada masyarakat di daerah pegunungan?
2.      Bagaimana volume bahasa yang digunakan pada masyarakat di daerah pesisir?


C.    Teori

                                    Pada penelitian ini penulis menggunakan teori variasi bahasa dalam penelitian. Terjadinya keragaman atau kevariasian bahasa ini bukan hanya disebabkan oleh para penuturnya yang tidak homogen, tetapi karena kegiatan interaksi sosial yang beragam.


D.    Tujuan Penelitian

Berdasarkan pada rumusan masalah di atas,  maka dapat disimpulkan tujuan penelitian ini adalah:     

1.      Untuk mengetahui bagaimana volume bahasa yang digunakan pada masyarakat di daerah pegunungan.
2.      Untuk mengetahui bagaimana volume bahasa yang digunakan pada masyarakat di daerah pesisir.



E.     Manfaat Penelitian

Manfaat adanya penelitian ini, penulis berharap agar pembaca dapat memperoleh informasi dan mengetahui pebedaan volume bahasa pada masyarakat pegunungan dan masyarakat di daerah pesisir.

           
F.     Metodelogi Penelitian
Metodologi penelitian adalah proses atau cara untuk mendapatkan data yang akan digunakan untuk keperluan penelitian. Keinginan untuk memperoleh dan mengembangkan pengetahuan merupakan kebutuhan dasar manusia yang umumnya menjadi motivasi untuk melakukan penelitian. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode observasi non partisipatoris.
Observasi non partisipatoris adalah di mana observer tidak ikut di dalam kehidupan orang yang akan di observasi, dan secara terpisah berkedudukan selaku pengamat. Di dalam hal ini observer hanya bertindak sebagai penonton saja tanpa harus ikut terjun langsung kelapangan.

BAB II
Pembahasan


Penggunaan Volume Bahasa Masyarakat Pegunungan
           
Permukiman penduduk di daerah pegunungan berbentuk terpusat atau menggerombol, biasanya masih memiliki hubungan kekerabatan atau hubungan pekerjaan, keadaan lingkungan yang tenang, menyebabkan daerah pegunungan masyarakat cenderung mempunyai sifat yang lembut sesuai kondisi lingkungannya. Dengan kondisi tersebut, menyebabkan seseorang mempunyai gaya bahasa dan dialek lebih halus dalam berbicara.

Faktor yang menyebabkan halusnya volume bahasa masyarakat pegunungan

a.       Pola Permukiman yang Terpusat
Bentuk yang tersusun mengikuti pola ini biasanya berbentuk unit-unit kecil, dan biasanya terdapat di daerah pegunungan. Penduduk yang tinggal di permukiman yang terpusat biasanya masih memiliki hubungan kekerabatan atau hubungan pekerjaan, sehingga pola ini akan membantu mereka untuk saling berkomunikasi dengan mudah. Pola ini akan membantu mereka untuk saling berkomunikasi dengan mudah karena jarak antar tempat tinggal yang tidak jauh dari satu rumah ke rumah lainnya.
            Contoh percakapan:
·         Bu Ambar : “ Selamat siang Bu Dina, bagaimana kabarnya? ”
Bu Dina    : “ Siang Bu, kabar saya baik.”

Percakapan volume tersebut dapat dirasakan jika nada-nada yang digunakan pasti lembut dan halus.

b.      Hubungan Kekerabataan dan Pekerjaan yang Baik
            Pada hubungan kekerabatan dan pekerjaan yang terjadi pada masyarakat pegunungan masih sangat terjaga keakrabannya karena mereka saling membantu dalam urusan pekerjaan yakni bercocok taman. Mengenai penggunaan nada bahasa mereka sangat lembut dalam berbicara karena mereka saling menghargai satu sama lain.
Contoh percakapan:
·         Pak Broto        : “ Pak Anwar, boleh minta tolong diambilkan cangkulnya? ”
Pak Anwar     : “ Baik Pak, dengan senang hati, tunggu sebentar.”

Percakapan volume tersebut dapat dirasakan jika nada-nada yang digunakan pasti lembut dan halus.



c.       Keadaan Lingkungan yang Tenang
Suasana tenang dan nyaman yang ada pada daerah pegunungan merupakan salah satu faktor penyebab lembutnya volume bahasa pada masyarakat gunung, berbeda di daerah perkotaan yang identik dengan keramaian aktivitas kehidupan.

Penggunaan Volume Bahasa Masyarakat Pesisir

Berbeda dengan pola permukiman yang ada di daerah pegunungan, di daerah pesisir pantai memiliki pola memanjang yang mengikuti garis pantai, penggunaan volume bahasa juga berbeda, masyarakat pesisir pantai menggunakan nada bicara yang keras daripada masyarakat pegunungan, kerasnya nada tersebut karena mereka harus meyesuaikan suaranya ombak.

Faktor yang menyebabkan kerasnya volume bahasa masyarakat pesisir

a.       Pola Permukiman yang Memanjang
Bentuk yang tersusun mengikuti pola ini dapat terbentuk karena kondisi lahan di kawasan tersebut memang menuntut adanya pola memanjang. Sehingga masyarakat yang tinggal di kawasan tersebut pun membangun rumah-rumah mereka dengan menyesuaikan diri pada keadaan tersebut. Mengenai nada bahasa mereka menggunakan volume yang keras karena tempat tinggal yang berjauhan.

b.      Menyesuaikan dengan Suara Ombak Pantai
Suara ombak pantai yang keras menyebabkan masyarakat yang tinggal di daerah pesisir pantai harus berbicara dengan nada yang tinggi  agar suara mereka saat sedang berbicara dapat terdengar jelas. Angin juga membawa pengaruh dalam terdengar tidaknya nada bahasa yang terjadi, biasanya saat terjadinya gelombang ombak di pantai angin juga berhembus kencang.
            Contoh percakapan:
·         Anita     : “ Shin, bagaimana kabarmuuu? ”
Shinta   : “ Saya baik-baik sajaa.”

Percakapan volume tersebut dapat dirasakan keras, karena pada akhir kata “kabarmuu”, terdapat huruf u dua sebagai penekanan digambarkan kenangnya nada bicara.

c.       Suara Angin Pantai
Angin juga membawa pengaruh dalam terdengar tidaknya nada bahasa yang terjadi, ketika terjadinya ombak di pantai, angin juga berhembus kencang yang membuat suara menjadi kurang jelas. Oleh karena itu masyarakat pesisir saat berbicara memiliki volune nada yang tinggi.

BAB III
Kesimpulan

Masyarakat pegununggan memiliki volume suara yang lembut dan halus, keadaan tersebut disebabkan karena pola permukiman tempat tinggal terpusat yang tidak memungkinkan mereka untuk berbicara dengan nada tinggi. Hubungan kekerabatan dan pekerjaan yang baik juga berpengaruh dalam volume nada masyarakat pegunungan. Keadaan yang tenang di kaki gunung membawa kesan yang tentram dan nyaman dalam berkomunikasi dengan baik.
Masyarakat pesisir memiliki volume suara yang tinggi, hal tersebut terjadi karena mereka harus menyesuaikan dengan geografi dan tempat tinggalnya. Pola permukiman memanjang menyebabkan mereka harus meninggikan volume suara karena tempat tinggal yang berjauhan, selain itu mereka harus meninggikan volume suaranya karena suara angin pantai dan ombak pantai yang kencang. Mereka meninggikan volume suaranya agar dapat terdengar ketika berkomunikasi.

Daftar Pustaka


Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2010. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta : 
            Rineka Cipta                          

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perbedaan Bahasa dan Kebudayaan pada Anak Desa di Bandar, Batang dan Bahasa Anak Kota di Semarang pada Orang Tua

Analisis Ejaan Pada Surat Dinas di Balai Desa Wonotenggang Rowosari Kendal